Bantu Pembangunan Pondok Tahfidz Al-Badr Pulau Salawati - Papua Barat
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Kehadirannya memberikan sumbangsih terbesar bagi masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari daya juang para Santri, Kyai dan Ulama saat itu.
Seiring berjalannya waktu memungkinkan terjadi peningkatan jumlah santri di setiap pondok pesantren. Akan tetapi peningkatan jumlah santri ini tidak selalu diikuti dengan peningkatan kapasitas gedung asrama sebagai bentuk pemenuhan fasilitas dari pihak lembaga.
Pemenuhan fasilitas yang tidak optimal dapat menganggu kenyamanan para santri dan menghambat pencapaian tujuan tersebut. Untuk mewujudkan tujuan itu, pondok pesantren perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya fasilitas kamar/asrama untuk menunjang proses belajar para santri.
Ustadz Dwi Irianta
Salah satu sosok Pejuang Dakwah di Pulau Salawati Tengah Papua Barat, beliau adalah Pak Dwi Irianta. Beliau lulusan Sekolah Pendidikan Guru tahun 1981, asli dari Pacitan dan besar di Blora, Jawa Tengah.
Pada tahun 1993 beliau memenuhi pangggilan ibunya yang lebih dulu mengajar di Pulau Salawati Papua Barat. Atas kesadaran memenuhi kewajiban dakwah, Pak Dwi mendirikan SMP Islam Gupi di daerah Salawati Daratan. Beliau berbagi waktu disela kesibukannya mengajar sebagai guru Sekolah Dasar. Pagi mengajar di Sekolah Dasar, sore beliau mengajar di SMP Islam.
Perjalanan dakwah beliau tidaklah mudah. Ketika gencar mensosialisasikan jilbab, beliau dianggap melawan arus. Akibatnya, tahun 1998 beliau dimutasi ke daerah terpencil di Kalobo, Salawati Tengah.
Berbagai ancaman dan intimidasi beliau alami selama mengawal pendidikan dan dakwah Islam di sana
Di tempat terpencil tidaklah menyurutkan langkah dakwah beliau. Pak Dwi mulai mendirikan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk mengajar anak-anak membaca Al Qur’an. Untuk meningkatkan pendidikan Islam yang lebih baik, beliau membantu anak-anak tersebut dengan mengirimkan mereka ke sekolah-sekolah dan panti-panti Islam Muhammadiyah di Kota Sorong dan ke Hidayatullah di Balikpapan.
Santri sedang belajar mengaji

Tahun 2014 beliau merintis pendidikan Madrasah Tsanawiyah, murid-murid beliau berasal dari pulau-pulau kecil di luar Salawati. Atas usulan dari para wali santri dan untuk memudahkan para santri belajar, akhirnya Pak Dwi mendirikan asrama putri pada tahun 2015.
Rumah Pribadi Pak Dwi Irianta yang dimanfaatkan untuk Asrama Putri
Asrama seadanya itu sebelumnya adalah rumah yang ditinggali keluarga Pak Dwi yang kemudian diberi nama Asrama Hidayah. “Murid kami ini rata- rata berasal dari keluarga yang kurang mampu,” ujar beliau. Asrama menampung sekitar 15 santri dalam kondisi yang kurang layak. Mereka rata-rata hanya mampu memberikan sumbangan pendidikan dan biaya hidup di asrama kisaran Rp.100.000 – Rp. 200.000 per bulan, itupun tidak mesti setiap bulan mampu mereka tunaikan.
Asrama Putra - Santri sedang beristirahat
Untuk mengoptimalkan operasional asrama Hidayah, Pak Dwi kemudian menjalin kolaborasi dengan berbagai lembaga pendidikan. Di antaranya dengan lembaga Tahfidz Al-Badr yang berdomisili di Jakarta. Dari kolaborasi tersebut, beliau mengadopsi nama Al-Badr menjadi nama bagi asrama di Salawati menjadi Asrama Tahfidz Al-Badr di Kampung Waibo, Distrik Salawati Tengah, Kab. Sorong, Papua Barat.
Pak Dwi perlu dukungan kita semua untuk dapat menyediakan asrama yang layak bagi para muridnya. Bangunan gedung yang diperlukan meliputi 1 unit asrama putra, 1 unit asrama putri, aula, toilet, dapur, tempat makan, rumah guru, dan kolam untuk budidaya ikan yang diharapkan mampu menampung 100 orang santri.
Kondisi Asrama Putra
Kondisi dapur Pondok Al Badr yang sangat sederhana
IBK membuka peluang berkolaborasi kebaikan dalam projek Pembangunan Pesantren Tahfidz ini.
Dimana kelak diharapkan lahir generasi muslim yang hafal Al Qur’an sekaligus siap terjun untuk mendakwahkan ilmunya di tengah masyarakat.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, tantangan dakwah di ujung Timur Indonesia begitu berat. Semoga harta yang disisihkan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir walau jasad kita sudah dikandung tanah.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh. (HR Muslim).
Partner Lapang: Bapak Dwi Irianta
Baca selengkapnya ▾